Di tengah krisis ekonomi global dan meningkatnya kasus burnout di kalangan pekerja, fenomena quiet quitting kian populer terutama di generasi muda yang berupaya menjaga keseimbangan hidup dengan menetapkan batasan sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Namun, apa sebenarnya pengertian quiet quitting? Mengapa ini terjadi, dan apa dampaknya bagi perusahaan dan juga bagi karyawan itu sendiri?
Apa Sebenarnya Pengertian Quiet Quitting?
Tahukah Anda apa itu quiet quitting? Jika Anda mengira quiet quitting adalah fenomena karyawan yang tiba-tiba resign tanpa kabar, Anda keliru. Fenomena ini bukan tentang berhenti kerja secara harfiah, melainkan tentang berhenti berlebihan dalam bekerja.
Secara sederhana, pengertian quiet quitting adalah sebuah prinsip kerja dimana karyawan memutuskan untuk hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan deskripsi pekerjaan atau job description yang tertera dalam kontrak mereka, tanpa menunjukkan inisiatif, mengambil tugas tambahan atau berusaha melampaui ekspektasi dengan harapan mereka dapat merasakan work-life balance.
Karyawan disini menunjukan sikap penolakan mental terhadap budaya kerja hustle culture yang menggap bahwa pekerjaan adalah hidup mereka. Mereka menolak untuk selalu memberikan 110% dan bekerja di luar jam kerja, mereka hanya akan bekerja sesuai porsi serta jam kerja mereka. Fenomena ini bukanlah suatu hal yang buruk, namun bukan berarti quiet quitting tidak punya dampak apa-apa. Jika hal ini terjadi secara berlebihan, dalam jangka panjang akan menimbulkan dampak pada perusahaan.
Lalu, apa sebenarnya fenomena ini dan bagaimana dampaknya bagi perusahaan. Simak pemaparannya dalam artikel berikut ini!
Apa Pemicu Perilaku Quiet Quitting?
Fenomena ini bukanlah sebuah pemberontakkan tanpa adanya suatu alasan yang jelas. Quiet quitting ini adalah reaksi yang dipicu oleh beberapa kondisi lingkungan kerja. Berikut beberapa hal yang dapat memicu perilaku quiet quitting:
1. Kelelahan Ekstrem (Burnout)
Pandemi meningkatkan tuntutan kerja dan mengaburkan batas antara rumah dan kantor, menyebabkan tingkat stres dan kelelahan yang sangat tinggi. Quiet quitting ini menjadi mekanisme pertambahan diri agar karyawan bisa pulih dan menjaga kesehatan mental.
2. Kurangnya Pengakuan dan Penghargaan
Kondisi kedua yang dapat memicu terjadinya fenomena ini adalah karena karyawan merasa upaya ekstra mereka, seperti bekerja lembur atau mengambil tanggung jawab di luar job desc, tidak diimbangi dengan apresiasi seperti kenaikan gaji, promosi, atau bahkan pengakuan verbal yang memadai. Mereka merasa kinerja 110% dihargai sama dengan kinerja 100%, sehingga mereka memilih untuk berhenti memberikan lebih.
3. Ketidakselarasan Nilai dan Misi Perusahaan
Terutama di kalangan generasi muda, adanya sense of meaning dalam pekerjaan sangat penting. Ketika karyawan merasa kontribusi mereka tidak sejalan dengan nilai pribadi atau misi perusahaan terlihat tidak tulus, mereka akan mengurangi investasi emosional dan energi mereka.
4. Batasan Gaji
Quiet quitting sering dipicu oleh stagnasi gaji di tengah tuntutan pekerjaan yang terus bertambah. Jika kompensasi finansial yang diterima karyawan hanya sesuai untuk memenuhi 100% dari deskripsi pekerjaan awal, mereka akan secara rasional menolak untuk memberikan upaya hingga 110%. Karyawan berhenti memberikan usaha ekstra karena merasa nilai dan waktu mereka tidak dihargai atau dibayar secara proporsional.
Apa Saja Dampak dari Perilaku Quiet Quitting?
Quiet quitting membawa konsekuensi yang berbeda bagi individu yang melakukannya dan bagi organisasi secara keseluruhan.
Dampak Positif bagi Karyawan
Bagi karyawan yang menerapkan perilaku quiet quitting ini membawa dampak positif bagi psikologis dan pribadi yang signifikan. Karyawan berhasil meningkatkan kesejahteraan mental mereka dengan menetapkan batas kerja yang tegas, secara efektif mengurangi tingkat stres dan memulihkan dari risiko burnout yang parah. Tindakan ini merupakan mekanisme pertahanan yang mengembalikan kontrol atas waktu pribadi mereka.
Selain kesehatan mental, quiet quitting membuka peluang untuk pengembangan diri dan kehidupan pribadi. Waktu yang sebelumnya terserap habis oleh lembur atau tuntutan pekerjaan diluar jam kerja kini dapat dialokasikan kembali untuk hobi, keluarga, atau investasi pada keterampilan baru di luar karier utama. Dengan demikian, karyawan dapat mencapai work-life balance yang jauh lebih realistis dan berkelanjutan.
Dampak Negatif bagi Perusahaan
Bagi perusahaan, perilaku quiet quitting yang terjadi berkelanjutan dapat menghambat pertumbuhan perusahaan itu sendiri. Dampak yang paling terasa adalah menurunnya inovasi dan stagnasi produktivitas. Karyawan yang hanya bekerja sesuai job desc tidak akan lagi mengambil inisiatif atau melakukan pemikiran di luar kotak yang krusial untuk pengembangan produk dan efisiensi operasional. Pekerjaan inti mungkin dapat terselesaikan, tetapi perusahaan akan sulit bersaing di pasar dinamis karena tidak ada peningkatan kualitas yang signifikan.
Jika terjadi dalam jangka panjang, fenomena ini juga dapat memungjkinkan rusaknya lingkungan kerja internal. Terjadi beban kerja yang tidak merata, di mana karyawan yang masih termotivasi terpaksa menutupi kekurangan inisiatif rekan-rekan mereka. Ketidakadilan ini menyebabkan penurunan engagement dan membuat budaya kerja menjadi datar, kurang bersemangat, dan pada akhirnya, meningkatkan risiko turnover (pergantian karyawan) secara massal di kalangan talenta terbaik yang merasa tidak dihargai.
Solusi Mengatasi Quiet Quitting?
Setelah memahami pengertian dan juga dampak yang dapat terjadi dari fenomena ini, mencari solusi untuk mengatasinya menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan.Mencegah meluasnya quiet quitting bukanlah dengan menekan karyawan, melainkan dengan memperbaiki sistem.
Perusahaan harus mengambil langkah proaktif untuk menciptakan lingkungan dimana karyawan ingin berkontribusi lebih, bukan karena paksaan, melainkan karena mereka merasa dihargai. Hal ini meliputi penetapan batasan kerja yang jelas, transparansi kompensasi, pemberian pengakuan non-finansial, dan memprioritaskan well-being karyawan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, divisi HR tidak bisa lagi dibebani oleh tugas administrasi manual. Quiet quitting adalah sinyal peringatan bahwa HR harus bertindak secara strategis dan berbasis data. Disinilah HRIS dari Presensi.co.id menjadi berperan penting, sistem HRIS memungkinkan HRD untuk menganalisis beban kerja karyawan secara adil, melacak metrik engagement secara real-time, dan menghubungkan upaya ekstra karyawan dengan sistem pengakuan dan kompensasi yang transparan.
Presensi.co.id sendiri merupakan aplikasi yang memiliki fitur lengkap mulai dari absensi online, pengajuan izin/cuti, reimbursement, kasbon, kunjungan sales, tugas, dan juga penggajian otomatis.Dengan mengotomatisasi tugas administratif, HRD dapat mengalihkan fokus dan energi mereka dari payroll ke pengembangan budaya dan intervensi dini, memastikan bahwa karyawan merasa dilihat, dihargai, dan termotivasi untuk kembali memberikan yang baik.







